Seperti air itu mengalir, berputar, mencari tempat rendah, menyesuaikan tempat di mana ia berada, tenang namun kuat, lembut namun dahsyat, diam namun tetap bergerak, tak bernafas namun hidup, mendingin, membeku, mengembang, mengeras, meleleh, fleksibel, memanas, mendidih, menguap, melembut, terbang tinggi namun tak lupa diri. Ia akan turun lagi untuk membawa pengharapan bagi kehidupan. Ia mengemban visi yang besar yaitu kehidupan. Segala segi kehidupan terkandung di dalamnya. Ia adalah dunia meski setetes. Ia adalah berbagai tempat yang ada, berbagai setuasi yang ada, berbagai kehidupan yang ada dan juga sekaligus yang tak ada.
Ia tak pernah memilih tempat tinggi, malah lebih memilih bagian terendah di bumi ini, meski bagian terkotorpun. Walaupun begitu ia tetap air. Di mana pun tempatnya ia tetap air dengan segala kepenuhannya. Ia tetap air yang tidak asing dengan semua makhluk, menyatu dalam darah dan daging. Ia dirindukan, dinantikan, diimpikan, dipuja, dicari, dihargai melebihi emas dan perak, namun ia pernah juga ditolak, disingkirkan, dibuang dalam tempat yang terjorok, direndahkan hingga tempat yang paling rendah, dinodai, dicemarkan, kehadirannya tak diinginkan. Ia menjadi bukti akan cinta Allah, namun dapat juga menjadi bukti akan murka Allah. Selebihnya ia hanyalah sebuah alat.
Dengan begitu ia mengalami rupa-rupa kehidupan, ia masuk ke dalam berbagai segi kehidupan, dan juga masuk ke dalam kematian. Dengan itu ia benar-benar menyatu dengan kehidupan dan juga kematian. Karena yang ia alami itu juga menjadi milik namun bukan untuk pribadi, untuk dibagikan dalam kelimpahan. Ia disebut sumber kehidupan justru karena berani mendidih, berani menguap, berani membeku, berani dibuang dalam jamban, mau bercampur dengan yang disingkirkan, mau menyatu dengan yang tak berguna, tidak takut api meski harus mendidih, tidak menyerah dengan kerasnya karang, tidak takut menjadi bau, tidak takut menjadi kotor, tidak takut tercemar, tidak takut disingkirkan, tidak takut dibuang, tidak takut mati, tidak takut menjadi tidak berguna.
Ia tidak pernah memilih mau duduk atau berdiri, ia tidak pernah memilih mau berlari atau berjalan, ia tidak pernah memilih mau hidup atau mati, namun begitu ia tetap ada tidak pernah lenyap. Dalam dirinya hanya ada kekosongan yang berisi. Ia tetap tinggal menetap dalam keberadaannya.
Karena dalam keadaan apapun, dalam situasi apapun, dalam wujud apapun, ia tidak kehilangan sifat hakikinya. Meski bercampur dengan berbagai macam zat namun ia sendiri tetap satu, tidak terpengaruh, tidak terikat. Ia dapat melepaskan diri dan berdiri sendiri dalam sifatnya yang asli. Ia memiliki kemerdekaan yang luas, kebebasan yang tak terkira. Lepas bebas.
Keberadaannya adalah sebuah pemurnian yang terus bergulir, berputar terus tak berujung, tidak pernah berhenti dan merasa puas diri. Jika pemurnian itu berhenti dalam fase tertentu, maka kehidupanpun juga terhenti. Namun ia tidak mementingkan diri sendiri, karena ia tidak menyadari secara egois akan keberadaannya yang hakiki. Itulah, yang berani menjadi segalanya, menerima segalanya, memberi segalanya akan menjadi penentu segalanya itu.
Dengan semua itu ia menjadi yang utuh, absolute, kedewasaan diri yang tak terukur, kedewasaan yang tak ada batasnya, kedewasaan yang tidak dipengaruhi situasi, ia berdiri sendiri, muncul sendiri dari kekosongan, berada dari ketiadaan. Dengan semua itu ia semakin murni, dengan semua itu ia semakin disucikan. Dengan cara itu ia semakin menjadi berkat, menjadi rahmat, menjadi sumber kehidupan.
Kedewasaan di sini bukan disebabkan oleh sesuatu hal, melainkan sebuah konsekuwensi dari proses pemurnian terus menerus, pergulatan terus menerus, keberanian mengalahkan diri, kesetiaan meski dalam ketidakpastian, ketaatan dalam kerendahan hati.
Kedewasaan tidak laindan bukan adalah kesucian itu sendiri, yang diukur berdasar ranah illahi, bukan berdasar pandangan-pandangan kesia-siaan dari manusia.