Feeds:
Posts
Comments

Seperti air itu mengalir, berputar, mencari tempat rendah, menyesuaikan tempat di mana ia berada, tenang namun kuat, lembut namun dahsyat, diam namun tetap bergerak, tak bernafas namun hidup, mendingin, membeku, mengembang, mengeras, meleleh, fleksibel, memanas, mendidih, menguap, melembut, terbang tinggi namun tak lupa diri. Ia akan turun lagi untuk membawa pengharapan bagi kehidupan. Ia mengemban visi yang besar yaitu kehidupan. Segala segi kehidupan terkandung di dalamnya. Ia adalah dunia meski setetes. Ia adalah berbagai tempat yang ada, berbagai setuasi yang ada, berbagai kehidupan yang ada dan juga sekaligus yang tak ada.

Ia tak pernah memilih tempat tinggi, malah lebih memilih bagian terendah di bumi ini, meski bagian terkotorpun. Walaupun begitu ia tetap air. Di mana pun tempatnya ia tetap air dengan segala kepenuhannya. Ia tetap air yang tidak asing dengan semua makhluk, menyatu dalam darah dan daging. Ia dirindukan, dinantikan, diimpikan, dipuja, dicari, dihargai melebihi emas dan perak, namun ia pernah juga ditolak, disingkirkan, dibuang dalam tempat yang terjorok, direndahkan hingga tempat yang paling rendah, dinodai, dicemarkan, kehadirannya tak diinginkan. Ia menjadi bukti akan cinta Allah, namun dapat juga menjadi bukti akan murka Allah. Selebihnya ia hanyalah sebuah alat.

Dengan begitu ia mengalami rupa-rupa kehidupan, ia masuk ke dalam berbagai segi kehidupan, dan juga masuk ke dalam kematian. Dengan itu ia benar-benar menyatu dengan kehidupan dan juga kematian. Karena yang ia alami itu juga menjadi milik namun bukan untuk pribadi, untuk dibagikan dalam kelimpahan. Ia disebut sumber kehidupan justru karena berani mendidih, berani menguap, berani membeku, berani dibuang dalam jamban, mau bercampur dengan yang disingkirkan, mau menyatu dengan yang tak berguna, tidak takut api meski harus mendidih, tidak menyerah dengan kerasnya karang, tidak takut menjadi bau, tidak takut menjadi kotor, tidak takut tercemar, tidak takut disingkirkan, tidak takut dibuang, tidak takut mati, tidak takut menjadi tidak berguna.

Ia tidak pernah memilih mau duduk atau berdiri, ia tidak pernah memilih mau berlari atau berjalan, ia tidak pernah memilih mau hidup atau mati, namun begitu ia tetap ada tidak pernah lenyap. Dalam dirinya hanya ada kekosongan yang berisi. Ia tetap tinggal menetap dalam keberadaannya.

Karena dalam keadaan apapun, dalam situasi apapun, dalam wujud apapun, ia tidak kehilangan sifat hakikinya. Meski bercampur dengan berbagai macam zat namun ia sendiri tetap satu, tidak terpengaruh, tidak terikat. Ia dapat melepaskan diri dan berdiri sendiri dalam sifatnya yang asli. Ia memiliki kemerdekaan yang luas, kebebasan yang tak terkira. Lepas bebas.

Keberadaannya adalah sebuah pemurnian yang terus bergulir, berputar terus tak berujung, tidak pernah berhenti dan merasa puas diri. Jika pemurnian itu berhenti dalam fase tertentu, maka kehidupanpun juga terhenti. Namun ia tidak mementingkan diri sendiri, karena ia tidak menyadari secara egois akan keberadaannya yang hakiki. Itulah, yang berani menjadi segalanya, menerima segalanya, memberi segalanya akan menjadi penentu segalanya itu.

Dengan semua itu ia menjadi yang utuh, absolute, kedewasaan diri yang tak terukur, kedewasaan yang tak ada batasnya, kedewasaan yang tidak dipengaruhi situasi, ia berdiri sendiri, muncul sendiri dari kekosongan, berada dari ketiadaan. Dengan semua itu ia semakin murni, dengan semua itu ia semakin disucikan. Dengan cara itu ia semakin menjadi berkat, menjadi rahmat, menjadi sumber kehidupan.

Kedewasaan di sini bukan disebabkan oleh sesuatu hal, melainkan sebuah konsekuwensi dari proses pemurnian terus menerus, pergulatan terus menerus, keberanian mengalahkan diri, kesetiaan meski dalam ketidakpastian, ketaatan dalam kerendahan hati.

Kedewasaan tidak laindan bukan adalah kesucian itu sendiri, yang diukur berdasar ranah illahi, bukan berdasar pandangan-pandangan kesia-siaan dari manusia.

ajific

Pada tahun 1977 yang lalu di Yerusalem ada suatu peristiwa yang paling penting bagi dunia. Meskipun penting tidak banyak orang yang tahu tentang peristiwa besar itu. Dan tentu tidak semua orang di dunia ini menganggap penting peristiwa itu. Hanya ia yang terpilih yang menganggap semua itu ada dan pernah terjadi. Malam sebelum peristiwa besar itu terjadi suatu perjamuan kecil mengawali. Diterpa sinar redup lampu dari minyak zaitun, tiga belas orang semuanya laki-laki sedang berkumpul mengelilingi meja makan. Sebuah meja panjang yang telah didesain khusus untuk suatu perjamuan istimewa. Suasana rumah yang terdiri dua ruangan itu tak terdengar suara yang berarti. Ketigabelas laki-laki itu duduk diam. Salah satu diantara mereka merunduk dalam sikap doa namun yang lainnya malah menatap dia dan memperhatikan dengan sungguh. Di setiap depan mereka cangkir dari kayu hitam masih kosong. Di tengah meja satu cawan besar sepertinya terisi sesuatu yang istimewa yang tidak akan dinikmati sebelum yang diam dalam sikap doa itu memulai. Di sebelah lain satu bakul penuh berisis roti tak beragi. Roti-roti terlihat kering dan seakan seperti batu kapur yang digunakan untuk bangunan. Inilah suasana perjamuan yang terbesar yang pernah terjadi di muka bumi ini.

Diantara mereka ada yang mulai bosan dengan suasana itu. Ia setuap saat mengerserkan badan dan menoleh ke belakang denga muka cemas yang disembunyikan. Sepertinya laki-laki berambut keriting dan bertubuh gempal itu sedang menahan buang hajat. Setiap kali kusinya digeser dan terus digeser dan makin menjauhi meja makan. Dalam diam dan hati-hati ia berdiri hendak melangkah ke luar rumah. Baru saja mengangkat kaki ada suara memanggilnya, “Yudas!!” Ia terperanjat dan kembali duduk dekat meja.

Yang diam dalam sikap doa itu mengambil satu roti dari bakul. Roti itu di pegangNya dengan kedua tanggan dan mengangkatnya. Tidak seorangpun tahu apa yang ia ucapkan, namuin setelah roti itu di turunkan Ia bekata sambil memandang sekeliling, “Makanlah. Inilah tubuhKu yang dikurbankan bagimu.” Mula-mula roti itu diberikannya kepada yang ingin pergi tadi. Ia hanya mengambil secuil dan membagikannya kepada yang lain. Belum selesai makan roti tadi, yang diam dalam doa tadi berkata lagi, “Inilah darahKu yang di serahkan bagimu untuk perngampunan dosa. Lakukan peristiwa ini untuk mengenang akan Aku.” Sebuah piala yang di tengah meja tadi diedarkan. Cangkir mereka diisi sampai penuh. Namun mungkin tidak dapat menahan lagi si kriting bertubuh gempal tadi berdiri dan berlari keluar rumah. Saya yakin kebanyakan makan pedas siang tadi.

Aku sendiri tidak tahu apa maksudNya. Aku tidak berani bertanya apa-apa meski duduk di sampingNya. Aku hanya merasa suatu kedamaian yang tak terhingga, dan yang lain saya yakin seperti itu juga.

Hari berikutnya disiang hari, adalah peristiwa yang bertolak belakang dengan peristiwa malam sebelumnya. Sepertinya peristiwa semalam menjadi yang terkahior bagi dia yang diam dalam doa. Sekarang ia tergantung di salib. Tidak ada seorangpun yang ada makan dalam perjamuan semalam terlihat, kecuali aku tentunya. Akupun tidak tahu kenapa ada di dekatNya sedangkan teman-temanku yang lain pergi. Disekujur tubuhnya penuh luka dan sepertinya tidak lama lagi ia akan mati. NafasNya mulai berat dan kemudian Ia menengadah sambil berkata lirih, “Bapa, kedalam tanganMu Kuserahkan nyawaKu.” Setelah itu ia lunglai dengan kepala menunduk.

Sekarang ini aku akan mengungkapkan pendapatku mengenai apa maksud yang ia katakan. Ia menyerahkan tubuh dan darahNya untuk kita. Sedangkan nyawaNya untuk Bapa. Sepertinya Ia tahu manusia tidak pantas untuk meneriman Nyawa maka Ia memberi tubuh dan darah. Saya yakin Tubuh itu tidak sama dengan milik manusia kebanyakan. Tubuh manusia rapuh dan fana. Ditimbun dalam dua hari saja pasti sudah hancur. Namun tubuh yang satu ini tidak. Ini adalah tubuh suci karena menjadi wadah nyawa roh yang suci. Tubuh ini tidak fana namun bersifat kekal. Tubuh manusia adalah fana maka dengan menerima tubuh yang telah menjadi ilahi itu diharapkan tubuh dan jiwa manusia menjadi kekal pula. Suatu pemberian yang tak ternilai telah diterima manusia. Menjamah tubuh itu saja sudah menjadi kehormatan besar apa lagi menerimanya. Ia memang memberi kepada manusia karena pantas untuk menerima, bukan sesuatu yang tidak pantas untuk menerimanya. Namun akhirnya tidak seperti itu, Ia memberi Roh Kudus kepada kita. Hanya Bapalah yang pantas menerima Nyawa itu. Nyawa yang  kudus dan besar. Karena Dialah kita diselamatkan.

Ajific

Boleh dikatakan panggilan itu indah, mengembirakan, membanggakan, baik untuk yang memilikinya maupun orang yang ada di sekitarnya.. Saat kaki melangkah ke depan altar, diiringi lagu penuh semangat dan daya dukungan mengema sampai mengetarkan hati. Tak jarang menetes pelan air mata terhanyut oleh syahdunya syair-syair indah yang mengalun dari bibir-bibir malaikat. Hadir saudara-saudari menatap penuh kebanggaan, senyumnya manis lebih manis dari sebelumnya, wajahnya ceria lebih indah dari sebelumnya. Dan hatipun mengucapkan tiga janji dengan kesadaran penuh damai. Namun siapa menyangka, dalam waktu yang sama di luar sana pakaian biara ada yang telah ditanggalkan. Begitu rapuh dan lemahnya niat itu bersemi, hingga pagi tumbuh dan siang telah layu dan terbakar api.

Kata orang penggilan itu misteri Ilahi, hanya hati yang terpanggil yang mampu menjawabnya. Dimanakah misterinya, tentu di dalam penghayatannya. Ada hati yang terpanggil yang memang dipanggil dengan tanda-tanda sejak kecil dan berakhir hingga tutup usia. Ada hati yang terpanggil karena berjalannya waktu yang mempertemukannya dengan Sang Pemanggil dan bertahan sampai akhir. Ada hati yang merasa terpanggil, maka ia pergi menuju sumber suara yang menurutnya menyebut namanya. Sesampai di depan rumah ia mulai mengetuk pintu, Tuan rumah membukakannya dan bertanya tentang sebuah nama yang jelas bukan dia yang Ia inginkan. Maka ia pergi dengan agak kecewa, namun ia tetap berusaha mencari kesempatan lain untuk berunding dengan Tuan rumah, dan mengutarakan bahwa ia benar-benar ingin menjadi hamban-Nya yang setia. Mendengar ungkapan tulus itu Tuan rumah masyul dan menerima hamba itu, karena banyak orang yang Ia panggil namun sedikit yang menanggapi-Nya dengan serius bahkan ada yang tidak mau mendengarkan suara-Nya. Ada pula hati yang terpanggil dan ia menanggapinya, namun seiring berjalannya waktu ia mulai goyah karena tak menemukan bayang-bayang yang ia cari dan juga tidak kunjung akrab dengan Sang Pemanggil, akhirnya menduakan niat ke pemanggil yang lain tentu dari dunia ini. Pada intinya hati itu telah dipanggil sebelum kejadiannya, namun karena kerapuhan dan kelemahan daging, panggilan itu tak sampai ke hati, namun  ia terus menunggu kapan hati itu terbuka untuknya, karena Sang Pemanggil adalah setia.

Wahai hati yang terpanggil mari perjuangkan panggilan yang telah kita miliki. Tidakkah kau tahu, Iblis begitu licik dan kejam terus mencari celah kelemahanmu untuk mencuri panggilan itu. Iblis itu dalam kebusukannya telah menaruh iri padamu, karena kamu menjadi pewaris Kerajaan Surga. Panggilan tanpa perjuangan untuk terus mengembangkannya, memperkuat akar dan batang-batangnya adalah hidup yang tak layak dijalani. Bagaimana cara menumbuhkan dan mengembangkannya tentu tak jauh beda saat kita menanam cabe. Kita biasa menyemainya, menyiapkan lahan untuknya, kemudian menanamnya, menyirami dan memupuknya, namun tak punya kuasa sedikitpun dalam menumbuhkan daun-daunnya, meniup bunganya hingga mekar keluar, menentukan bakal buah mana yang harus gugur dan yang tetap bertahan dan mengecatnya dengan warna merah saat memasuki masa tua. Sebagai manusia kita hanya bisa mengusahakannya dengan cara-cara yang telah kita ketahui dari pengalaman maupun dari orang lain.

Untuk mendapatkan cara yang jitu tak ada yang lain dan bukan, hanya dari Sang Pemanggil sendiri, Dia adalah Tuhan. Menjalin komunikasi yang mesra dengan-Nya, menyisihkan waktu luang khusus untuk bercengkrama dengan-Nya, supaya diri ini memperoleh penghiburan dan kekuatan, tumbuh ikatan batin yang kuat dengan-Nya sehingga hati tidak mudah untuk meninggalkan-Nya sedetik pun. Karena sebenarnya bukan Ia yang meninggalkan saat kita mengalami kekeringan, kesulitan berat, kekosongan iman, namun hati sendiri yang terus menghindar dari Roh-Nya. Ia terus mendekat meski kita menjauh. Ia selalu setia dan penuh cinta. Jangan sekali-sekali merasa mampu berdiri sendiri, karena suatu saat Ia dapat mengambil kemampuan yang ia titipkan, dan kita akan jatuh terkulai seperti pohon kacang panjang dicabut rambatannya.

Engkaulah jiwa yang terpanggil, dan sepatutnyalah jika berjuang dalam panggilan. Berjuang sampai seperti yang telah dialami Sang Pemanggil, hingga tetes darah terakhir, hingga hembusan nafas terakhir. Sebelum ia memanggil Ia sendiri telah memberi teladan bagaimana menjalani sebuah panggilan. Semuanya tertulis rapi di Injil, dan tak jarang kita membacanya, mendengarkannya, namun masalahnya dapatkan tulisan mati itu menjadi sesuatu yang hidup dalam diri kita.

Filosofi Tubuh

Ajific

Tubuh ibarat rumah tempat di mana kamu tinggal. Namun rumah ini adalah tempat yang special buat kamu. Kamu akan setia seumur hidupmu. Kau akan menempati rumah itu selama di dunia bahkan ke luar pun belum pernah.  Begitu melekatnya dirimu dengan rumahmu hingga apa yang terjadi dengannya kaupun merasakannya. Begtu juga dengan rumah apa yang kamu rasakan ia ikut merasakan juga. Jadi rumah itu ada dalam kamu dan kamu dalam dia.

Aku tahu kau tidak pernah memilih rumah itu, tahu-tahu kau ada di dalamnya, begitu juga dengan rumah. Sebelum kau di dunia rumah itu sudah tersedia. Aku pun tahu sebaiknya kamu tidak memuja rumah itu karena rumah itu hanya sesaat, kau akan kembali ke rumahmu semula yang abadi adanya. Kau seakan berkemah di dunia lain di mana tempat itu dapat semakin mengembangkan kamu menjadi lebih baik, dan satu yang penting agar semakin dimuliakanlah Dia yang memberimu hidup karena hidup itu bukanlah milikmu termasuk kamu sendiri.

Tubuh adalah tempat yang selalu ingin dimanjakan, apa yang diingininya selalu mendesakmu untuk melakukan. Kecenderungan keinginan tubuh adalah yang enak, dan itu baginya tidak akan pernah terpuaskan. Semua itu berlainan dengan keinginanmu. Kau ingin bekerja keras namun tubuh inginnya tidur. Kau ingin belajar giat namun tubuh inginnya jalan-jalan. Kau ingin puasa namun tubuh inginnya makan terus. Kau ingin menahan nafsu namun tubuh ingin memuaskannya. Jiwamu memang kuat namun daging itu lemah. Karena kamu bukan dari yang fana namun tubuhmu dari dunia.

Meski ada perbedaan yang kuat itu namun tidak dapat dipungkiri bahwa kamu dan tubuh menjadi satu. Kau mendiami tubuh karena agar jiwamu semakin kuat dan sempurna demikian juga tubuh supaya kamu dapat mendidiknya untuk menjadi suci. Yang fana itu akan menjadi suci jika kamu menang atasnya. Namun sebaliknya jika kamu kalah dengan daging kau akan semakin tersesat dan karena daging kamu dapat lenyap. Meski tidak ada di dunia ini yang berhak mengampuni dosamu atau melenyapkan kamu untuk selamanya selain Dia yang akan datang dalam Kerajaan Kebenaran.

Tubuhmu terdiri dari berbagai bagian namun kamu sendiri satu. Itulah kuncinya. Dirimu bertugas untuk membuat mereka rukun dan itu sudah terjadi. Saat kakimu luka seluruh bagian tubuh akan memperhatikan. Mereka saling bekerja sama untuk membuatnya nyaman bahkan ikut merasakan. Begitu juga saat lidahmu sedang bahagia karena mengecap  sesuatu yang enak, bagian tubuh yang lain ikut bahagia. Intinya jika menyangkut yang enak dan menyenangkan tubuh akan saling bekerjasama untuk mendapatkannya.

Namun yang satu ini tentu sulit bagimu bahkan membuatmu tak berdaya. Bagaimanapun tubuh adalah fana ia memiliki kelemahan. Antara kau dan tubuh selalu bertentangan jika menyangkut yang baik dan itu merugikan tubuh. Saat kau ingin membantu anak gelandangan mulai dari matamu menolak karena ia jijik jika melihatnya, kemudian pikiran memprofokasi yang lain dan berkata, “Sayang jika uang itu untuk orang lain lebih baik untuk beli baju yang aku nanti ikut merasakannya.” Janganlah kalah dengan tubuh. Kamu harus dapat mengekangnya dan mengarahkannya menuju yang baik. Jika kamu telah menang atas tubuh, ia akan menurutimu bahkan untuk berkorbanpun rela. Jika tubuh mengikuti apa kata  dirimu maka tubuh itu akan menjadi suci dan akhirnya abadi. Karena apa yang kau ingini sebenarnya buka dari dirimu namun dari Dia yang membuat kamu ada. Dialah sumber kebaikan dan sebenarnya apa yang kau ingini adalah yang benar karena kamu datang dari Kebenaran.

Apa itu kebenaran apa itu kebaikan? Jika pikiranmu bekerja keras untuk mendapatkan jawabannya itu hanya sia-sia, karena ia sendiri tidak mengenalnya. Dirimu sendirilah yang tahu. Bertindaklah berdasar apa yang kamu tahu sebenarnya, bukan berdasarkan apa yang diketahui tubuh.

Akhirnya janganlah lupa pada hakikatnya dirimu itu siapa. Who Iam Lord?

Bersambung…..

Kebenaran

1. Di Dunia ini ada banyak hal yang akan kau dengar, tapi jangan sekali-kali sepenuhnya percaya. Hanya satu yang pantas dipercaya yaitu KEBENARAN.
2. Tak sepantasnya kamu membenci, ada Tuhan dalam dirimu.
3. Sebuah kata dari sang bijak akan mendamaikan dunia, sebuah kata dari si jahat mendatangkan neraka.
4. Kebijaksanaan terselip dalam hatimu, latihlah lidahmu untuk mengucapkan.
5. Kebijaksanaan itu bersanding dengan cinta.
6. Kebijaksanaan kadang bergerak namun kadang bersuara.
7. Sebuah kata akan tinggal tetap dihati yang pantas menjadi sarangnya.
8. Tidak semua orang di dunia ini berhati picik, ada salah satu dari seribu diantara mereka bijaksana.
9. Tak serumit yang aku pikirkan. Semua sederhana.
10. Jika ditanya, bagaimana cara membuat belalang, di benakku secara langsung akan muncul suatu pemikiran yang menyangkut teori-teori sel, sistim saraf, metabolisme tubuh, semuanya begitu rumit. Belum tentu jika ilmu itu mampu mendukung untuk menciptakan seekor belalang saja. Di dunia ini bermacam-macam jenis belalang hidup, tapi anehnya kenapa tak seorangpun mampu membuat seekor belalang. Apakah manusia memang tak punya bakat untuk membuat belalang yang begitu sederhana bahkan hewan ini sering dilupakan orang, jarang ada di pikiran manusia. Saat seseorang di kebun sering melihat belalang meloncat-loncat, terbang kesana-kemari, tak terhiraukan sama sekali. Apa sebenarnya yang dipikirkan manusia? Tak mampu membuat tapi hobi merusak, itulah manusia. Dari sini lama kelamaan manusia akan menjadi dewa perusak, berubah dari jati dirinya yang asli sebagai pencipta. Bukannya menyamai Allah, tapi manusia mendapatkan warisan kemampuan itu dari-Nya. Kemana kemampuan itu selama ini, kenapa tak seorangpun manusia mampu menciptakan seekor serangga. Kemampuan itu tetap ada, menyatu di diri manusia, namun manusia belum menyentuhnya, belum melihatnya. Manusia sejatinya belum mengenali dirinya, terus bergumul dalam kelemahan dan derita, tak mampu melihat diri ke dalam.

ajific

Yang Penting Iman

Kasihan sekali saudara kita Steff. Mau tahu kenapa? Baik, akan saya ceritakan sejujurnya.

Siang itu Bruder Steff berlagak karena masih punya tenaga berapi-api (biasa masih muda). Ia diberi kepercayaan mendampingi kaum muda untuk mengikuti outbound. Tahu tidak teman, ia senangnya minta ampun sampai-sampai kepalanya sebesar buah nangka. Sampailah para outboundners di tantangan paling menegangkan. Mereka harus melewati kolam renang dengan berjalan di atas seutas tali yang diikatkan di kedua belah sisi kolam. Karena energinya terlalu meluap-luap Bruder Steff mendesak seorang peserta yang takut untuk memulai. Ia memaksa orang itu untuk menginjakkan kedua kakinya di atas tali dan mulai berjalan pelan-pelan. Setelah Bruder Steff melepaskan pegangannya, tidak sampai hitungan detik orang itu terjun bebas ke dalam kolam. Teman-temannya yang lain riuh tertawa terbahak-bahak melihat kesialan itu. Mungkin ini juga pertanda bahwa pada dasarnya manusia senang jika orang lain menderita. Regu penolong langsung mengangkatnya ke atas. Saat di tepi kolam orang itu seperti linglung. Ada yang tidak beres dengan penglihatannya. Ia meraba-raba kaca matanya sebelah kanan. Matanya yang sipit langsung tersentuh oleh jarinya.

“Kaca mataku sebelah hilang.” Teriaknya menyadari semua.

Pendamping kontan bingung, terutama Bruder Steff. Ia mengamati sepertinya anak ini seorang kaya, pasti kacamatanya mahal. Ia takut kalau nanti disuruh menganti karena ia yang bertanggung jawab atas regu ini. Tanpa pikir panjang ia lari mengambil jaring. Dibantu beberapa pendamping Bruder Steff mengobok-obok kolam itu dengan jaringnya. Hingga matahari hampir tengelam hasilnya nihil. Ia sempat frustasi. Kolam itu cukup luas dan airnya banyak. Steff menggunakan jaring kecil untuk mencari kaca kecil dan tipis di dasar kolam yang luas itu. Ini mustahil akan berhasil. Sama saja mencari jarum ditumpukan jerami.

Orang-orang yang membantunya sudah bubar karena menyerah, tinggal satu orang yang masih setia. Steff diam. Ia menyadari ada tanggungjawab besar jika sampai kaca itu tidak ditemukan.

“Pak ayo kita cari lagi. Kita pasrah saja. Yang penting iman Pak!.” Katanya entah nglantur karena frustasi atau benar disadari.

Steff mengambil jaring dan mencelupkan ke air hingga ke dasar kolam. Jaring ia tarik dan diangkat. Ia menatap lesu kotoran hitam yang terjerat jaring. Hatinya makin remuk. Ia mengulangi lagi langkah tadi. Setelah diangkat yang tampak hanya hamparan hitam menempel di atas jaring. Br. Steff mengais-ngais kotoran yang terperangkap jaring. Ia mencoba sabar. Tangannya memegang sesuatu keras yang terbalut lumpur. Setelah di clupkan ke air dan dicuci ia terperangah setengah mati.
“Haaa aku berhasil!” teriaknya keras dan melompat ke tepi kolam. Bibirnya tak henti-hentinya menciumi kaca kecil, bening setipis tempe kripik itu.

“Yang penting iman.” Bisiknya dalam hati mencoba memahami kata-kata itu lebih dalam.

“Benar Pak. Yang penting iman.” Serunya kepada seorang bapak yang membatunya dengan nada yakin. Mereka tertawa terpingkal-pingkal campur kagum ternyata masih ada iman di dunia ini.

Br. Ajific

Apa yang kau cari?

ajific

Musim kemarau ini cukup membuat cabe-cabe di kebun Mbah Yetka merangas. Pagi disirami, nanti sore sudah kering, demikian juga ketika sore disirami, besoknya sudah kering lagi dan daun-daun cabe layu. Sepertinya untuk menyirami kebun cabe ini perlu dua kali sehari pagi dan sore. Suatu sore saya di kebun cabe Mbah Yetka yang jaraknya beberapa meter dari rumah, hanya dibatasi tembok dan ada pintu untuk menuju kebun di tembok itu. Saya mulai menyirami, terlebih yang ada di pot, karena cabe-cabe itu layu sampai merunduk ke tanah. Air mengalir dari selang, seperti doaku pagi tadi, menyejukkan dan menguatkan aku di hari ini sehingga tidak layu.

Tak lama saya mendengar suara seperti ayam mengais-ngais, tapi saya sadar mustahil ada ayam di tempat ini karena kebun ini dikelilingi pagar tembok. Suara itu bersumber dari bak sampah besar yang masih di area kebun cabe. Sayapun mulai berpikir, jangan-jangan pemulung atau pencuri yang menyamar menjadi pemulung.

Dengan pelan saya mendekati tempat sampah dan menengok ke dalam. Seorang berbaju putih dengan muka panik sibuk mengais-ngais sampah dengan ranting di tangannya. Ia tersenyum pahit memandang saya. Keringatnya sebesar biji jagung bergelantungan di dahinya.

“Hee…! Cari apa?” kakak pertama melihat saya, dan tersenyum memperlihatkan ruang kosong di deretan gigi depannya.

“Nota!” Katanya serentak. “ Notaku satu bendel hilang. Pasti dibuang Noto. Padahal sudah saya ingatkan jangan sembarangan membuang secarik kertaspun dari kamar saya, tapi tetap saja.” Jawab kakak pertama dengan cuek dan meyakinkan. Ia terus mengais-ngais dengan serius. Debu bekas pembakaran mengepul seperti lebah terusik dari sarangnya.

“Kalaupun dibuang pasti sudah dibakar tukang sampah, ia terlalu rajin sepertinya.” Sela saya, kemudian pergi menyirami cabe lagi. Hari makin gelap dan malam pun tiba.

Di meja makan ketika makam malam, kakak ke dua ngobrol dengan kakak pertama, “Bagaimana, gigimu sudah ketemu belum?”

“Sudah. Sudah!” Jawab kakak pertama tersenyum malu. “Malah sampai saya cari di tempat sampah segala, eh… setelah saya cari di dapur ternyata masih di sana, terbungkus tissue. Awalnya kan saya cuci di dapur.”

“Untung belum digondol anjing.” Sahut kakak yang lain. Mendengar itu, semua tertawa terpingkal-pingkal. He he he ha ha ha hu hu hu!

Saya sendiri langsung teringat kejadian di tempat sampah sore tadi.

“Katanya mencari nota, ternyata mencari gigi tho.” Kata ku sambil tertawa kecil.

“Haa…yang benar?”teriak kakak ke dua.

“Iya!” jawabku serius. “Tadi sore ketika saya menyirami cabe, kakak pertama di bak sampah itu. Saya Tanya, cari apa?, Ia menjawab katanya cari nota satu bendelnya yang hilang.”

Spontan saja semua makhluk di sekitar meja makan itu tertawa terbahak-bahak.Ha..ha…ha…ha… Namun anehnya Kakak pertama juga ikut tertawa memperlihatkan ruang kosong di deretan gigi depannya yang sudah tertutup lagi.

Ketika Tuhan bertanya pada kita, “Apa yang kau cari?” dan kita menyembunyikan maksud dan tujuan yang sebenarnya di balik jawaban yang indah dan putihnya jubah, saat itu juga Dia tersenyum penuh belas kasih, karena sebenarnya Ia tahu. Namun Tuhan akan terus mengetuk hati kita, menawarkan sesuatu di atas yang paling indah dan paling bernilai. Ia akan mengajak kita datang ke rumah-Nya untuk melihat, merasakan, mencoba, hingga kita berubah pikiran dan memilih Dia. Namun saat kita benar-benar mencari Dia, kemana harus mencari?